Ulasan Detective Conan: The Scarlet Bullet -- Potensial, sih. Sayangnya...

 

Setelah penundaan selama setahun akibat pandemi COVID-19, akhirnya film terbaru dari waralaba Detective Conan dapat dinikmati penggemar. Film Detective Conan ke-24 ini, yang semestinya tayang pada 2020, merupakan film yang sangat diantisipasi karena menghadirkan Akai Shuichi beserta keluarganya. Di sini saya akan menyajikan ulasan saya terhadap movie terbaru ini. PERINGATAN, saya mencantumkan spoiler di artikel ini.. Kalau kamu belum menonton dan takut keseruan menonton The Scarlet Bullet berkurang lantaran paparan spoiler, lebih baik skip review ini. Apalagi, artikel ini akan frontal menjelaskan hal-hal yang saya sukai dan tidak saya sukai dari movie ini.

 

Disclaimer: sebelum saya disembelih karena kesannya memberi review pas-pasan, perlu ditekankan, saya memberi The Scarlet Bullet rating 8/10. Artinya bagus. Saya bukan haters, namun saya tipe fans yang bakal mengevaluasi hal-hal yang dirasa bisa diperbaiki di filmnya.

 


    The Scarlet Bullet bercerita tentang kasus penculikan tokoh sponsor World Sport Game (WSG), turnamen olahraga internasional empat tahunan yang kali ini digelar di Jepang. Sponsor-sponsor yang diculik langsung dilepas begitu saja. Kasus ini rupanya merupakan pengulangan dari kasus 15 tahun lalu, menjelang WSG di Boston, Amerika. Kasus lama tersebut berada di bawah yuridiksi FBI sehingga FBI mengusut kasus serupa yang juga tengah terjadi di Jepang. Pada saat bersamaan, Jepang mendekati masa peresmian kereta api berlevitasi magnet bernama Japanese Bullet.

 

PARUH PERTAMA FILM YANG KURANG MENGGIGIT

Baik, sebelum menyorot hal-hal baik dari movie ini, lebih baik kita kupas dulu bagian-bagian yang membuat film ini tidak ada di top-5 film Detective Conan favorit saya.


Hal yang kurang saya sukai dari film Detective Conan kali ini adalah suspense yang kurang dibagi rata sepanjang film. Jujur, beberapa menit film dimulai, saya sangat tergugah dengan kilas balik kasus penculikan di Boston. Tokoh sponsor dengan tangan diikat di belakang, melarikan diri dari penculiknya, diiringi musik harmonika William Tell Overture yang dimainkan pengamen lokal. Adegan itu langsung membuat saya berpikir “this is going to be great”. Sayangnya antusiasme itu perlahan luntur dua puluh menit kemudian.


Berbeda dengan dua movie sebelumnya (Zero the Enforcer dan The Fist of Blue Sapphire) alur cerita film ini sangat lambat dan kurang intens. Kasus penculikan satu sponsor perempuan dan ayah Sonoko di babak pertama film, yang seharusnya genting, digambarkan sebagai peristiwa sambil lalu dan kurang seru. Saya benar-benar tak bisa mengalkulasi sebenarnya seberapa meresahkannya kriminal di film ini. Belum apa-apa, FBI sudah memutuskan akan langsung membunuh pelaku jika melancarkan aksinya lagi. Padahal, pelaku penculikan langsung melepas korbannya tanpa syarat dan tedeng aling-aling. Pelaku bahkan tidak merenggut satu barang pun dari korbannya. Menurut saya, interogasi lebih lanjut terhadap pelaku lebih logis daripada membunuh pelaku di tempat, yang belum jelas maunya apa.

Beberapa puluh menit pertama film terasa sepi dibandingkan film-film sebelumnya. Tidak ada kejadian yang membuat saya menahan napas. Di film ke-22 kita diberi pengambinghitaman Mouri, di film ke-23 kita diberi adegan Kid vs. Kyogoku. Di film ke-24, paruh pertama kebanyakan diisi oleh narasi kasus terdahulu dan dinamika keluarga Akai yang menaruh ketertarikan terhadap kasus ini. Adanya film pengantar The Scarlet Alibi semula membuat saya berpikir peran semua keluarga Akai dan Yumi signifikan. Namun, menurut saya, mohon maaf nih, Sera dan Yumi (bahkan Mary) dapat dihapus dari cerita. Bahkan shukichi cukup dimunculkan di momen tertentu saja.

MORALITAS CONAN VS. FBI SEHARUSNYA LEBIH DISOROT

Hal yang menarik perhatian saya sejak trailer The Scarlet Bullet adalah benturan prinsip moral Conan dan FBI. Conan secara idealis menghargai semua nyawa, menghindari hukuman mati untuk kriminal. Terlebih dalang kasus di film ini tidak membunuh sama sekali. Sebaliknya, FBI sejak awal bernafsu untuk menghabisi pelaku.

Berikut merupakan salah satu dialog di The Scarlet Bullet. (spoiler, blok tulisan untuk membaca)

Conan: “Jangan-jangan kalian FBI berencana langsung membunuh pelakunya?”

Akai: “Ya, kami FBI punya metode sendiri.”

Conan: “Hmm… baiklah.”

Saya: “Hah, gitu aja?”

Begitu lihat adegan itu, saya langsung mencureng. Di trailernya, Conan tampak bersikeras menentang prinsip Akai dan FBI, seolah isu moral ini punya porsi besar di film. Saya tahu Conan akan melakukan sesuatu. Namun keberadaan trailer menghasilkan misinterpretasi bahwa Conan akan berkompetisi mengungkap pelaku sebelum FBI agar pelaku tidak dieksekusi begitu saja. Ternyata tidak sepedas itu, Saudara-Saudara. Namun, saya tidak begitu kecewa, sih, dengan plot minor ini karena (spoiler, blok tulisan untuk membaca) Conan juga melakukan sesuatu biar pelakunya nggak mokad langsung sebab peluru Akai.


ADEGAN DAN TOKOH YANG CUMA ASAL TEMPEL

Saya awalnya berpikir keluarga Akai akan menambah kompleks plot jika kasus ini berkaitan dengan mereka secara langsung. Namun, ternyata peran mereka ada di luar kasus saja, cuma ditempel. Tidak seperti Amuro, Kid, dan Makoto di film sebelumnya yang memang merupakan bagian dari kelindan kasus. Plot Yumi-Shukichi dan beberapa adegan minor sebenarnya sangat bisa diganti dengan adegan yang membuat paruh pertama film ini lebih menggigit. Bahkan maaf dengan segala maaf, Sera dan Yumi (bahkan Mary) cuma jadi gimmick atau umpan agar fans menonton film ini saja. Peran mereka dihilangkan atau dilakukan protagonist lain juga tidak terlalu mengubah alur. Terlalu banyak adegan pemborosan di film ini. Plot minor paling sia-sia menurut saya adalah, (spoiler, blok tulisan untuk membaca) Yumi melamar Shukichi. Hal itu terjadi karena Yumi mabok. Begitu sudah melek, Yumi lupa dia ngomong apa. Dang, saya tahu, movie itu non-canon. Tapi, kalau tahu gitu, why didn’t they remove all those Yumi-Shukichi scenes altogether and focused on the movie’s main plot?

Saya rasa hal-hal tersebutlah yang membuat kasus di movie ini tidak sesolid film sebelumnya. Di film ke 22 dan 23, tokoh yang terlibat langsung dengan kasus sangat banyak dan punya motif masing-masing yang tumpang tindih. Itu yang saya sukai dari film ke 22 dan 23. Kompleksitas itulah yang tidak saya temukan di film ke 24 karena tertumpuk plot minor dan tokoh yang bisa dihapus. Keberadaan World Sport Game di The Scarlet Bullet juga tidak dimanfaatkan sebaik Tokyo Summit dan turnamen Karate di film sebelumnya. Movie 20 juga sebenarnya tidak memiliki alur yang kompleks sama sekali. Namun, movie 20 memiliki suspense yang tersebar di seluruh film sehingga paruh pertama film tidak terasa sepi dan lambat.



PARUH KEDUA FILM YANG CUKUP  MELUNASI

Paruh kedua film ini adalah momen ketika film terasa tiba-tiba mencapai ujung. Menandakan saya menikmati. Hal yang paling saya sukai adalah upaya kreator untuk melakukan riset banyak topik yang diselipkan dalam film ini. Banyak sekali trivia di movie ini didasarkan pada sains mind-blowing di kehidupan nyata. Contohnya adalah (spoiler, blok tulisan untuk membaca) fenomena quench dan  laju peluru dalam ruang vakum. 



Bahkan, berbeda dengan film sebelumnya, yang puncaknya cenderung diisi adegan kejar dan tembak sana-sini saja, akhir dari The Scarlet Bullet tidak hanya menyajikan aksi, tapi juga penyelesaian yang cerdas dan informatif. Adegan favorit saya justru adalah ketika  (spoiler, blok tulisan untuk membaca) Conan dan Presiden WSG sendiri menuntun pelaku agar dapat menembak Presiden WSG di dada tanpa melubangi kereta Japan's Bullet. Momen yang benar bikin saya mikir "What the heck is happening here?"  Ditambah, tokoh favorit saya, Haibara Ai dapat banyak screentime kali ini. 

KESIMPULAN: LAYAK TONTONKAH?

Apakah movie 24 itu jelek? Mungkin tidak. Namun komparasi dengan film-film pendahulunyalah yang memberi kesan kurang baik. Ending film ini membuat saya menyimpulkan, bahwa kasus The Scarlet Bullet cukup menarik. Namun, peletakan adegan dan suspense-nya saja yang kurang strategis. Keberadaan keluarga Akai, momen World Sport Game, dan debat moralitas terkait hukuman mati merupakan hal yang potensial. Namun, kurang dieksekusi dengan baik untuk menjadikan film ini satu dari lima film Detective Conan terfavorit saya.

Alhasil, saya menilai film ini 8/10 di My Anime List, nyaris saya nilai 7 jika saya tidak berhenti membanding-bandingkannya dengan film sebelumnya. Sebagai komparasi, saya menilai Zero the Enforcer (film ke-22) 10/10 dan The Fist of Blue Sapphire (film ke-23) 9/10.

 

Komentar