STOP STIGMA, JADI ORANG BAIK DI MASA PANDEMI
















Pandemi covid-19 yang melanda dunia sejak tahun lalu bukan hanya memberikan dampak fisik, melainkan juga psikososial (Tyler, 2019). Masyarakat kini harus berjuang lebih untuk mempertahankan kondisi tubuh prima dan kesejahteraan mental. Di Indonesia, dengan 12.000 lebih kasus covid-19 per 7 Mei 2020 (WHO, 2020), muncul masalah sosial baru. Masalah tersebut, antara lain, adalah penolakan jenazah tenaga kesehatan (Kompas, 2020) serta teror terhadap penyintas covid-19 karena stigmatisasi (Kompas, 2020).

            Stigma adalah label negatif yang ditempelkan pada kelompok dengan ciri tertentu (Link & Phelan, 2001), dalam konteks ini orang-orang yang bersinggungan dengan covid-19. Stigma dapat meningkatkan stres dan berujung pada penghambatan pemulihan pasien (Kalat, 2015). Selain itu, stigma mampu menimbulkan ketakutan seseorang untuk mencari pertolongan medis dan diskriminasi (Stangi, Llyod, Brady, Holland, & Baral, 2013). Pengucilan akibat stigma terhadap pasien covid-19 justru akan menjadikan penyintas tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya (Logie & Turan, 2020). Ketakutan ini akan menjadi lingkaran setan apabila pasien positif memilih berbohong dan menginfeksi seperti kasus beberapa waktu lalu (Tirto, 2020). Hal ini senada dengan pernyataan Kemenkes bahwa stigma turut berperan dalam tingginya angka kematian covid-19 (Covid.go.id, 2020).

            Kegiatan sederhana yang dapat dilakukan warga dalam berperan melawan pandemi adalah dengan mengurangi stigma dan berbagi. Hal tersebut dapat tercapai dengan menyebarkan informasi solutif dan klarifikatif seperti menghindari hoaks (Logie & Turan, 2020). Selanjutnya, kita dapat memberi tunjangan psikososial dan materi kepada tetangga PDP atau ODP sesuai prosedur medis, seperti bersosialisasi lewat telepon dan memberikan tunjangan materi. Dukungan sosial sebagai stress coping ini dapat membantu mempercepat pemulihan (Polizzy, Lynn, & Perry, 2020). Masyarakat juga harus terlibat menjaga kesehatan mental tenaga medis dengan meringankan kerja mereka. Jasad korban covid-19 juga tidak seharusnya ditolak. Prosesi pemakaman mereka sudah terstandardisasi. Selain itu, mendengarkan kisah dari banyak pihak akan menguatkan empati kita (Logie & Turan, 2020). Menyebarkannya, juga lebih baik lagi.




DAFTAR PUSTAKA







Kalat, J. W. (2015). Biological Psychology. Boston: Cengage Learning.

Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing stigma. Annual review of Sociology, 27(1), 363-385.

Logie, C. H., & Turan, J. M. (2020). How Do We Balance Tensions Between COVID-19 Public Health Responses and Stigma Mitigation? Learning from HIV Research. AIDS and Behavior, 1-4.

Polizzi, C., Lynn, S. J., & Perry, A. (2020). STRESS AND COPING IN THE TIME OF COVID-19: PATHWAYS TO RESILIENCE AND RECOVERY. Clinical Neuropsychiatry, 17(2).

Stangl, A. L., Lloyd, J. K., Brady, L. M., Holland, C. E., & Baral, S. (2013). A systematic review of interventions to reduce HIVrelated stigma and discrimination from 2002 to 2013: how far have we come?. Journal of the International AIDS Society, 16, 18734.

Taylor, S. (2019). The Psychology of Pandemics: Preparing for the Next Global Outbreak of Infectious Disease. Cambridge Scholars Publishing.

World Health Organization. (2020). Coronavirus disease 2019 (COVID-19): situation report, 100.




Komentar